
Penelitian Mengungkap Bahaya Sepsis Neonatal di Asia Tenggara
Di wilayah Asia Tenggara, sepsis pada bayi baru lahir kini menjadi ancaman serius yang semakin sulit diatasi. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet Regional Health - Western Pacific menunjukkan bahwa hampir 80 persen kasus sepsis neonatal disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Studi ini melibatkan lima negara yaitu Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Sri Lanka.
Penelitian ini menggunakan data dari kultur darah bayi baru lahir selama dua tahun (1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2020). Data tersebut dikumpulkan dari laboratorium dan dianalisis untuk memahami pola infeksi serta tingkat ketahanan terhadap pengobatan. Selain itu, peneliti juga mencatat kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi, serta penggunaan antibiotik di berbagai rumah sakit.
Sepsis terjadi ketika sistem imun bereaksi berlebihan terhadap infeksi, menyebabkan kerusakan organ dan bahkan kematian. Dari lebih dari 15.000 sampel darah yang dianalisis, mayoritas infeksi disebabkan oleh bakteri yang kemungkinan besar resisten terhadap pengobatan standar. Hal ini mengkhawatirkan karena mengurangi efektivitas antibiotik yang tersedia.
Keterbatasan Pengobatan dan Kebutuhan Antibiotik Baru
Kondisi ini memperlihatkan bahwa dunia mungkin kehabisan pilihan antibiotik yang efektif untuk bayi. Saat ini, pengembangan antibiotik baru sangat sedikit, bahkan butuh waktu sekitar sepuluh tahun untuk mendapatkan satu obat yang disetujui. Ini menuntut investasi besar dalam riset dan pengembangan antibiotik baru.
Studi ini juga menemukan bahwa bakteri gram-negatif seperti Klebsiella spp., Acinetobacter spp., dan E. coli menjadi penyebab utama sepsis neonatal. Tingginya jumlah infeksi oleh bakteri ini menunjukkan adanya risiko penularan di fasilitas kesehatan. Di sisi lain, bakteri gram-positif hanya menyumbang sekitar 13,2 persen kasus, dengan Staphylococcus aureus sebagai patogen utama.
Patogen utama menunjukkan tingkat resistansi yang tinggi terhadap antibiotik lini pertama yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti kombinasi benzilpenisilin/ampisilin dengan gentamisin maupun sefalosporin generasi ketiga. Tingkat kepekaan yang rendah ini menunjukkan bahwa terapi empiris WHO tidak lagi cukup efektif di rumah sakit perkotaan di Asia Tenggara dan Selatan.
Kebutuhan Pedoman Terapi Baru
Meskipun antibiotik alternatif seperti amikasin dan karbapenem digunakan, efektivitasnya masih rendah terhadap Enterobacterales dan bakteri gram-negatif non-fermenter. Ini menyoroti pentingnya akses yang lebih baik terhadap antibiotik baru yang dapat mengatasi infeksi multidrug-resistant (MDR) pada bayi.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan 8 persen kasus sepsis neonatal disebabkan oleh infeksi jamur, terutama Candida parapsilosis dan Candida albicans. Temuan ini menegaskan pentingnya meningkatkan kapasitas diagnostik mikologi dan sistem pemantauan infeksi jamur di negara berpenghasilan rendah-menengah. Meski resistansi antijamur masih rendah, munculnya Candida auris yang multidrug-resistant menjadi peringatan serius.
Keterbatasan dan Rekomendasi
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Data diambil dari rumah sakit rujukan besar di perkotaan, sehingga mungkin tidak mewakili kondisi nasional. Selain itu, data kultur darah dikumpulkan secara retrospektif, sehingga tidak bisa dianalisis lebih lanjut terkait faktor risiko dan hasil pasien. Kapasitas laboratorium yang terbatas juga memengaruhi kelengkapan data.
Meski begitu, temuan ini memberikan bukti kuat bahwa sepsis neonatal di Asia Tenggara didominasi oleh bakteri gram-negatif yang resisten terhadap banyak obat. Hal ini memperkuat seruan untuk memperbarui pedoman terapi empiris yang sesuai konteks, melakukan uji klinis untuk mengevaluasi regimen alternatif, serta mengembangkan antibiotik baru.
Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang bagaimana bakteri resistan menyebar di rumah sakit sangat penting, agar intervensi yang lebih tepat sasaran dapat dikembangkan untuk menekan angka infeksi pada bayi baru lahir.
Pentingnya Peningkatan Kesadaran dan Pencegahan
Rekomendasi antibiotik untuk sepsis pada bayi dari WHO didasarkan pada data negara-negara berpenghasilan tinggi. Padahal, 85 persen kematian bayi akibat sepsis terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Para peneliti menegaskan, pedoman global harus segera diperbarui agar sesuai dengan pola bakteri lokal dan tingkat resistansi yang berbeda-beda.
Temuan studi ini dianggap mengkhawatirkan, karena infeksi bakteri resistan yang dulu lebih sering muncul pada bayi yang lebih besar, kini justru terjadi dalam beberapa hari pertama kehidupan bayi. Secara global, setengah juta bayi meninggal karena sepsis setiap tahun, sepertiganya disebabkan bakteri resistan antibiotik. Risiko penyebaran juga makin tinggi karena globalisasi dan mobilitas lintas negara.
Untuk menekan ancaman ini, tenaga medis dan orang tua harus menjaga kebersihan secara ketat, menerapkan kontrol infeksi di rumah sakit, serta mendorong pemberian ASI karena terbukti membantu memperkuat daya tahan tubuh bayi dan mengurangi risiko paparan bakteri berbahaya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!