
Kritik terhadap Rencana Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif Cukai Rokok
Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2026 mendatang mendapat kritik tajam dari berbagai organisasi kesehatan, akademisi, dan pemerhati anak. Keputusan ini dinilai tidak hanya salah, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat secara luas.
Beberapa lembaga seperti Komnas Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Yayasan Lentera Anak, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menilai bahwa keputusan tersebut mencerminkan keberpihakan pemerintah kepada industri rokok. Mereka menilai bahwa kebijakan ini justru mengabaikan hak rakyat atas kesehatan yang layak.
Pertemuan dengan Industri Rokok Menimbulkan Dugaan Konflik Kepentingan
Keputusan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengumumkan kebijakan cukai setelah bertemu dengan perusahaan rokok besar seperti Gudang Garam, Djarum, dan Wismilak memicu dugaan kuat adanya konflik kepentingan. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah kebijakan fiskal benar-benar berpihak pada rakyat atau justru diatur oleh industri yang merusak kesehatan publik.
Lisda Sundari, ketua Lentera Anak, menyatakan bahwa pertemuan antara Menkeu dengan industri rokok merupakan bentuk intervensi langsung dari pihak industri. Ia menilai bahwa keputusan tersebut menunjukkan bahwa industri tembakau memiliki akses istimewa ke level tertinggi pembuat kebijakan fiskal, sementara suara masyarakat, khususnya perlindungan anak, justru terabaikan.
Narasi yang Disampaikan Industri Rokok Dinilai Menyesatkan
Industri rokok disebut menggunakan berbagai narasi untuk memengaruhi kebijakan pemerintah. Mulai dari ancaman PHK massal, isu rokok ilegal, klaim kontribusi ekonomi sebesar Rp230 triliun, hingga dalih melindungi UMKM. Namun, menurut Lisda, semua narasi ini justru dimaksudkan agar cukai rokok tidak dinaikkan.
Ia menegaskan bahwa fakta menunjukkan bahwa PHK lebih banyak terjadi karena mekanisasi, bukan karena cukai. Sementara itu, rokok ilegal disebabkan oleh sindikat mafia, bukan karena tarif yang rendah. Selain itu, klaim kontribusi ekonomi industri rokok tidak sejalan dengan beban kesehatan yang sangat besar, yaitu mencapai Rp410 triliun pada 2019.
Kecaman dari Tokoh Kesehatan Masyarakat
Tulus Abadi, Sekretaris Jenderal Komnas Pengendalian Tembakau, menyatakan bahwa keputusan Menkeu Purbaya bisa dikatakan sebagai "pembunuhan rakyat" yang didukung oleh pemerintah sendiri. Ia menilai bahwa langkah ini sangat mengecewakan dan menunjukkan ketidakseriusan dalam menjaga kesehatan bangsa.
Menurut Tulus, komitmen Menkeu untuk memperbaiki ekonomi negara patut diragukan, karena keputusan ini justru berpihak pada oligarki industri rokok. Ia menyerukan agar Menkeu mengkaji kembali keputusannya dan tidak menjadi antek industri yang membunuh rakyat.
Analisis dari Pakar Ekonomi dan Kesehatan
Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI, menjelaskan bahwa prinsip dasar cukai adalah melindungi masyarakat sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Dengan tidak naiknya tarif cukai, pemerintah kehilangan potensi pendapatan sekaligus melemahkan upaya pengendalian konsumsi rokok.
Aryana menambahkan bahwa perusahaan rokok tetap untung besar, sementara beban kesehatan ditanggung oleh publik. Ia menilai bahwa masalah pekerja bukanlah akibat kebijakan kesehatan, melainkan karena kurangnya perlindungan dari perusahaan yang eksploitatif.
Desakan untuk Reformasi Kebijakan Cukai
Koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa keputusan Menkeu Purbaya merupakan kemunduran besar dalam perlindungan kesehatan publik. Cukai rokok dianggap sebagai solusi win-win yang telah terbukti efektif di berbagai negara, baik dalam mengurangi konsumsi, menurunkan prevalensi perokok, maupun meningkatkan penerimaan negara.
Oleh karena itu, organisasi-organisasi yang hadir dalam konferensi pers ini mendesak:
- Menkeu Purbaya membatalkan keputusan tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026.
- Pemerintah menaikkan tarif cukai secara signifikan, setidaknya 25% per tahun, sesuai rekomendasi WHO.
- Melakukan reformasi struktural berupa penyederhanaan golongan cukai, mendekatkan jarak tarif antar golongan ke atas, penghapusan diskon, dan penetapan Harga Jual Eceran (HJE) tinggi untuk menekan keterjangkauan rokok.
- Menetapkan kebijakan multi-tahun untuk Cukai Hasil Tembakau (CHT) demi memastikan komitmen pemerintah dalam perlindungan rakyat dari produk tembakau dan turunannya tanpa dinamika dan tekanan industri.
- Menghentikan konflik kepentingan dengan industri rokok, serta melibatkan pakar kesehatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan fiskal yang berdampak langsung pada kesehatan publik.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok bukan hanya kebijakan yang keliru, tetapi juga ancaman nyata bagi masa depan kesehatan bangsa. Ketika industri rokok dilindungi, rakyatlah yang menjadi korban: jatuh sakit, semakin miskin, dan meninggal lebih cepat. Organisasi kesehatan, akademisi, dan aktivis anak menegaskan kembali bahwa pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada industri perusak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!