
Polemik Larangan Penyajian Rokok dalam Acara Adat Batak
Polemik baru muncul di Kota Medan setelah Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DPRD Medan mengusulkan agar masyarakat tidak lagi menyajikan rokok dalam setiap prosesi adat Batak. Usulan ini memicu perdebatan yang cukup hangat di kalangan masyarakat dan tokoh budaya.
Anggota Pansus dari Fraksi PSI, Henry Jhon Hutagalung, menilai bahwa kebiasaan menyediakan rokok di acara adat justru merugikan kesehatan. Ia menekankan bahwa rokok membahayakan diri sendiri sekaligus orang lain. “Karena itu, sudah saatnya tradisi ini dipertimbangkan ulang demi generasi mendatang,” ujarnya.
Budaya yang Sulit Digeser
Namun, pandangan tersebut langsung mengundang reaksi dari kalangan budayawan. Pengamat budaya Batak sekaligus Direktur Rumah Karya Indonesia (RKI), Marojahan Andrian Manalu atau yang akrab disapa Ojax, menyebut wacana tersebut tidak bisa serta-merta diterapkan. Menurutnya, penyediaan rokok di meja adat sudah menjadi tradisi turun-temurun dan diyakini sebagai bentuk penghormatan.
“Rokok dalam adat Batak bukan sekadar konsumsi, melainkan simbol penghargaan kepada tamu, khususnya para raja-raja adat. Menghapusnya tanpa proses panjang jelas akan menimbulkan resistensi,” kata Ojax.
Ia menegaskan bahwa jika rokok tidak ada, yang punya acara bisa dianggap tidak menghargai atau bahkan pelit. “Kalau rokok tidak ada, yang punya acara bisa dianggap tidak menghargai atau bahkan pelit,” tambahnya.
Kekhawatiran Kontra di Masyarakat
Ojax menilai, perubahan budaya tidak bisa dipaksa lewat regulasi. “Budaya itu lahir dari kebiasaan kolektif yang berlangsung lama. Jika tiba-tiba dilarang, justru akan menimbulkan penolakan.” Apalagi masyarakat Batak sudah memandang rokok sebagai bagian dari ruang sosial mereka.
Ia menekankan agar aturan KTR tidak serta-merta menyentuh ranah adat. “Kalau dipaksakan, pasti muncul konflik. Lebih baik edukasi dilakukan perlahan agar masyarakat bisa menerima dengan sadar,” ungkap Ojax.
Respon Warganet
Wacana penghapusan rokok dari adat Batak ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Akun TikTok @ellatour_batakunique, misalnya, menampilkan banyak komentar kritis terhadap usulan DPRD Medan tersebut. Beberapa netizen menyoroti bahwa masalah lain yang lebih mendesak harus diprioritaskan daripada mengatur soal adat.
“Apakah tidak ada lagi yang lebih mendesak untuk dipikirkan demi rakyat, kok malah masuk ke ranah adat?” tulis akun Henri Hutasoit. Komentar lain datang dari Mawi_Manalu yang menegaskan bahwa masih banyak masalah fundamental yang seharusnya diurus pemerintah ketimbang rokok dalam pesta adat.
Bahkan, sejumlah warganet menagih janji politik para legislator sebelum mengatur soal kearifan lokal. “Janji kampanye dulu dipenuhi, jangan malah ngurusin adat,” tulis Robert Pardede.
Antara Kesehatan dan Tradisi
Perdebatan ini pun memperlihatkan benturan antara kepentingan kesehatan publik dan pelestarian budaya. Di satu sisi, pemerintah daerah ingin menciptakan lingkungan yang lebih sehat melalui Perda KTR. Namun di sisi lain, masyarakat adat merasa warisan leluhur mereka tidak bisa diubah secara instan.
Hingga kini, wacana larangan penyajian rokok di acara adat Batak masih terus menuai pro dan kontra, baik di kalangan tokoh budaya maupun masyarakat umum. Tantangan utamanya adalah menemukan keseimbangan antara menjaga kesehatan masyarakat dan menghormati tradisi yang telah lama berlangsung.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!