
Isu Diskriminasi dalam Penerimaan Beasiswa LPDP Muncul di Sidang Uji Materi
Dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berlangsung pada Selasa (30/9/2025), isu terkait diskriminasi penerimaan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan muncul. Hal ini menjadi perhatian khusus setelah Ketua Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Wisnu Barlianto, menyampaikan pandangan mengenai Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Wisnu menyoroti perbedaan dalam sistem pembayaran antara PPDS yang berbasis rumah sakit dan yang berbasis kampus. Menurutnya, meskipun kedua jenis program tersebut tetap memerlukan biaya, PPDS berbasis rumah sakit mendapatkan pendanaan dari LPDP. Dengan demikian, peserta PPDS berbasis rumah sakit tidak perlu membayar karena sudah mendapat beasiswa.
“Faktanya, kedua-duanya tetap berbayar. Namun, yang berbasis rumah sakit mendapatkan pendanaan dari LPDP. Itu sebabnya mereka tidak perlu membayar,” jelas Wisnu dalam sidang.
Atas dasar tersebut, AIPKI mengusulkan agar PPDS berbasis kampus juga dapat menerima beasiswa secara keseluruhan. Usulan ini kemudian mendapat tanggapan dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra. Ia bertanya kepada pemerintah mengapa ada perbedaan dalam pembiayaan LPDP antara yang berbasis rumah sakit dan kampus.
“Pemerintah diminta untuk menjelaskan alasan adanya perbedaan tersebut. Karena hak warga negara itu sama, Pak. Jangan sampai terjadi diskriminasi,” ujar Saldi.
Menurut Saldi, kebijakan LPDP ini terkesan membatasi akses bagi dokter yang menjalani PPDS berbasis kampus. Ia menyarankan agar kebijakan tersebut ditinjau ulang jika benar-benar diterapkan seperti itu.
Penjelasan Pemerintah Mengenai Beasiswa LPDP
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa Nugraha, yang mewakili pemerintah menjelaskan bahwa beasiswa LPDP untuk PPDS sudah ada sebelum UU Kesehatan baru disahkan. Ia menyebutkan bahwa hampir 4.000 dokter spesialis dari jalur kampus mendapatkan beasiswa dari Kementerian Pendidikan Tinggi, sedangkan sekitar 11.000 dokter spesialis dari jalur rumah sakit mendapatkan beasiswa dari Kementerian Kesehatan.
Kunta menjelaskan bahwa perbedaan ini terjadi karena 98 persen pendidikan spesialis dilakukan di rumah sakit. Ia menambahkan bahwa beasiswa untuk jalur kampus biasanya dialirkan ke rumah sakit, sehingga bisa meningkatkan sarana dan pelatihan di sana.
“Kami tidak ada yang memblokir, tidak ada,” tegas Kunta.
Gugatan UU Kesehatan yang Sedang Berlangsung
Selain isu beasiswa, sidang uji materi UU Kesehatan juga mencakup tiga perkara yang sedang berjalan. Perkara-perkara tersebut adalah perkara 156/PUU-XXII/2024, perkara 111/PUU-XXII/2024, dan perkara 182/PUU-XXII/2024.
Perkara-perkara ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang dinilai mengambil alih independensi kolegium. Selain itu, perkara ini juga mencakup konflik organisasi profesi kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan organisasi tunggal profesi dokter.
Sidang tiga perkara ini telah berlangsung delapan kali, lebih panjang dari perkara uji materi biasanya. Para pihak seperti pemerintah dan DPR telah diminta keterangan, serta para saksi dan ahli baik dari pembentuk undang-undang maupun pemohon telah memberikan keterangannya.
Dalam sidang pendalaman ini, hadir pula Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia, dan Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran Gigi. Mereka memberikan masukan terkait permasalahan yang diajukan dalam gugatan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!